Sejak virus COVID-19 resmi masuk ke wilayah Indonesia, dan dengan pengumuman resmi WHO bahwa COVID-19 telah menjadi pandemi global, Pemerintah RI, sambil terus menenangkan rakyat, perlu memperhitungkan risiko terburuk.
Ada dua jenis risiko yang kita hadapi: risiko global, dan risiko lokal. Risiko global adalah disrupsi dan destruksi yang diakibatkan COVID-19 terhadap ekonomi dunia.
Menurut data terakhir (pada saat tulisan ini dibuat), COVID-19 sudah menular pada 121.000 orang di 100 negara lebih, dan merenggut 4.373 korban jiwa. Angka-angka ini tentunya akan terus melonjak — jumlah kematian COVID-19 sudah jauh melebihi jumlah kematian flu burung. Penderita COVID-19 sudah jauh melebihi gabungan penderita SARS, MERS dan Ebola.
Dalam antisipasi risiko global ini, kita juga perlu mencatat, nampaknya risiko penyebaran COVID-19 yang terbesar bukan lagi berasal dari China. Namun, dari negara-negara lain, terutama yang kapasitas penanganannya lemah.
Dampak global COVID-19 telah terlihat secara berantai memukul berbagai sektor : pasal modal, supply-chain, manufaktur, komoditi, turisme, travel, ritel, business confidence, dan sebagainya. Kemungkinan terjadinya resesi dunia tetap ada. Yang jelas, COVID-19 bisa menjadi ancaman ekonomi terburuk sejak krisis keuangan tahun 2008. Dan sejujurnya, risiko global ini berada di luar kendali kita. Yang berada di bawah kendali kita adalah risiko lokal — yaitu penyebaran COVID-19 di Tanah Air kita sendiri.
Skenario terburuk adalah COVID-19 terus menyebar di Tanah Air tak terdeteksi dan tak terkendali, sehingga kita tidak berhasil mencapai peak (puncak) epidemi tahun ini karena korban terus berjatuhan sampai akhir tahun dan bahkan berlanjut tahun depan. Apalagi vaksin diperkirakan paling cepat 1 tahun lagi baru ditemukan.
Kalau ini terjadi, maka dampak ekonominya akan fatal bagi Indonesia: ekspor kita runtuh; orang Indonesia (buruh, turis, profesional) akan terkena travel ban di luar negeri; investor mundur; turis asing akan merosot jauh; dan lain-lain.
Saya paham pasti ada yang mengatakan,”Waduh, jangan menakut-nakuti orang. Kemungkinan itu terjadi kecil.” Jawaban saya: justeru kalau kita meremehkan situasi, skenario terburuk bisa terjadi. Mantan Wapres Jusuf Kalla pernah mengeluh, “Orang Indonesia biasanya hanya akan sadar krisis kalau mayat sudah bergelimpangan di jalan.”
Untuk menghindari kemungkinan terburuk bagi Indonesia, kita harus berani mengambil langka drastis. Termasuk membenahi mentalitas birokrasi kita.
Dalam dunia kesehatan kita, sejak puluhan tahun cukup sering terdengar kasus temuan penyakit di lapangan yang tidak dilaporkan ke atas atau ke pusat. Kalaupun dilaporkan ke atas, temuan tersebut sering ditutupi dengan alasan “menjaga stabilitas”, tidak mau repot, tidak mau ribut, tidak ada anggaran untuk mengambil tindakan, tidak mau wilayah kerjanya dapat rapor merah, atau bahkan karena tidak peduli. Kelemahan birokrasi yang sudah lama ini masih ada sampai sekarang.
Hal ini menjadi penting karena tantangan terbesar kita bukan hanya merawat penderita COVID-19 yang kita ketahui. Namun, bagaimana mendeteksi penderita COVID-19 yang TIDAK kita ketahui, yang jumlahnya bisa jauh lebih banyak.
Dalam melawan epidemi, skenario terburuk adalah apabila pekerja kesehatan terus tertinggal jauh di belakang penyebaran virus. Sebagai contoh, di Italia, jumlah penderita COVID-19 naik drastis dari 600 menjadi 10.000 hanya dalam 10 hari, sehingga akhirnya seluruh wilayah Italia harus dikurung.
Di Indonesia, masalahnya adalah sistem penanganan COVID-19 kita masih cenderung menunggu bola ketimbang menjemput bola — beda dari apa yang dilakukan di China dan Korea Selatan.
Untuk mengalahkan COVID-19, kita harus menghindari sikap defensif. Kita sempat mengambil sikap bahwa mengakui keberadaan COVID-19 merupakan hal yang memalukan bangsa. Bahkan ada pemikiran untuk merebut pasar turis dunia agar berbelok dari negara COVID-19 ke Indonesia.
Tujuh minggu sejak COVID-19 muncul, kita lebih berupaya merebut predikat sebagai negara “bebas Corona” ketimbang melakukan persiapan sistemik yang maksimal di dalam negeri untuk mengantisipasi masuknya corona virus. Wakil WHO di Indonesia pun sempat di-bully hanya karena ia dianggap menyangsikan klaim bahwa tidak ada satupun penderita COVID-19 di Indonesia.
Memasuki babak baru ini, sikap defensif dan denial kini harus digantikan dengan sikap hiper proaktif dan transparansi total — apa yang disebut pakar manajemen Jim Collins sebagai “productive paranoia”.
Untuk mengalahkan COVID-19, kita juga tidak punya pilihan selain mengandalkan kerja sama internasional. Terutama dengan WHO dan lembaga internasional yang berurusan dengan virologi dan vaksin.
Ingat, dalam upaya perang sabil melawan pandemi, yang akan menyelamatkan rakyat kita bukan saja nasionalisme, namun juga internasionalisme. Mengapa? Karena posisi Indonesia dalam percaturan COVID-19 masih sangat labil.
Kita tidak punya laboratorium kelas dunia, tidak punya banyak dokter yang pengalaman, tidak punya peralatan yang canggih. Kita juga tidak menjadi bagian dari jaringan elite peneliti dunia, tidak punya kapasitas untuk membuat vaksin. Dan kalaupun vaksin ditemukan entah dimana, kita belum tentu punya akses untuk mendapatkan vaksin tersebut pada gelombang pertama.
Semua gap ini hanya bisa diperbaiki dengan merangkul dunia luar. Presiden China Xi Jinping benar sekali bahwa senjata yang bisa mengalahkan virus hanya satu: teknologi.
Belajar Dari Kasus Flu Burung
Di sini, kita perlu mengambil pelajaran mahal dari pengalaman sebelumnya. Dulu, sewaktu dunia menghadapi ancaman flu burung pada tahun 2004-2009, Menteri Kesehatan (Siti Fadillah Supari) waktu itu malah menggempur WHO habis-habisan.
Kemenkes juga menolak berbagi sampel virus H5N1 kita dengan dunia luar. Padahal, sampel virus yang kita miliki sangat dibutuhkan untuk membuat vaksin, sementara korban jiwa terus berjatuhan. (Sebagai perbandingan, China di awal krisis langsung secara aktif membuka segala data virus COVID-19 secara online agar semua pihak di manapun dapat mempelajarinya untuk membuat vaksin).
Lebih parah lagi, oleh Menkes waktu itu permasalahan dengan WHO dijadikan komoditas politik di dalam negeri untuk menyulut semangat nasionalisme yang sempit. Kebijakan Kemenkes kita waktu itu juga sangat dipengaruhi oleh kelompok politik tertentu yang sangat anti-asing, sehingga tidak jelas mana kebijakan kesehatan publik yang murni dan mana yang sentimen politik. Untung saja, flu burung waktu itu tidak menjadi pandemi dan akhirnya surut sendiri.
Situasi kini berbalik. Kini justeru kita yang (sangat) membutuhkan WHO. Kesombongan kita terhadap WHO jangan sampai terulang lagi karena hanya akan merugikan rakyat kita sendiri.
Selain dengan WHO, Pemerintah kita juga harus proaktif bekerja-sama dengan China, dan jangan menjauhi segala sesuatu yang berbau Negeri Tirai Bambu.
Memang benar, virus COVID-19 berasal dan menyebar dari Wuhan, namun faktanya China — bukan Amerika, Italia, Jepang — adalah negara yang paling banyak terjangkit COVID-19 sekaligus yang paling sukses menangani COVID-19.
Banyak pelajaran, pengalaman dan peralatan China yang pasti bermanfaat bagi upaya kita di Indonesia. Rumah sakit kita justeru harus berkonsultasi dengan sejumlah rumah sakit di Wuhan yang telah terbukti sukses menjadi bebas corona.
China misalnya, mempunyai alat yang dapat memastikan keberadaan COVID-19 dalam pasien hanya dalam 3 jam, bukan berhari-hari seperti yang masih berlaku di Indonesia. Namun, kalau tidak salah, alat yang sudah terbukti di lapangan itu masih belum masuk di Indonesia, karena kita masih “alergi” terhadap China.
Kita harus peka dan cerdik menyikapi situasi ini. Jangan lupa: bisa jadi China lah — bukan Amerika — yang akan menemukan dan memproduksi vaksin COVID-19.
COVID-19 sebenarnya merupakan peringatan penting bagi bangsa kita. Bill Gates beberapa tahun lalu menyatakan, ancaman terbesar terhadap umat manusia bukan lagi perang nuklir, tapi virus yang mematikan. Masalahnya: dunia tidak siap menghadapi pandemi.
Kita tidak perlu panik, namun kita juga tidak perlu berandai-andai lagi: COVID-19 adalah ancaman kesehatan, kemanusiaan, sosial, ekonomi dan keamanan terbesar bagi Indonesia tahun ini. Kita harus siap “perang” all-out melawan COVID-19 jika diperlukan.
Kalaupun kita berhasil mengalahkan COVID-19 kali ini, maka di masa mendatang pasti akan timbul lagi ancaman virus baru yang lebih sulit dan mematikan. Inilah saatnya Indonesia mulai membangun sistem dan infrastruktur penanganan penyakit menular yang tangguh.