Oleh : Dr. Dino Patti Djalal
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), mantan Wakil Menteri Luar Negeri
(Artikel ini diterbitkan di harian Kompas hari Senin, 25 Januari 2021, halaman 6)
Di tengah badai Covid-19 yang terus melanda dunia, kita tak boleh lengah menghadapi satu isu besar lain yang akan jadi ajang pertarungan global: perubahan iklim.
Tahun 2021 adalah tahun strategis bagi masa depan planet bumi dan umat manusia. Pada tahun 2021 inilah akan ditentukan apakah bangsa-bangsa dunia dapat secara praktis menjaga suhu bumi agar tak naik melebihi 1,5 derajat celcius sebagaimana disepakati dalam Perjanjian Perubahan Iklim Paris lima tahun lalu. Diplomasi perubahan iklim akan tancap gas pada 2021 karena sudah cukup lama menjadi agenda yang tertunda. Sejak Perjanjian Paris 2015, banyak negara yang lamban menepati komitmen mereka. AS di bawah Presiden Trump bahkan menarik diri.
Sampai saat ini, baru sekitar 50 negara yang sudah menyampaikan target penurunan emisi yang ambisius kepada PBB. Yang bergerak jauh lebih cepat dibanding pemerintah-pemerintah dunia justru perusahaan, ormas, LSM, dan generasi muda. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena peluang untuk mencapai stabilitas iklim semakin mengecil. Menurut penelitian, untuk menjaga kenaikan suhu bumi dibawah 1,5 celcius, emisi secara global harus berkurang 50 persen selama dasawarsa 2020-an; berkurang 50 persen lagi selama 2030-an, dan terus menurun 50 persen selama 2040-an.
Umat manusia masih sangat jauh dari target itu. Dalam praktik ekonomi dan gaya hidup bangsa-bangsa dunia sekarang, suhu bumi akan naik sekitar 3-4 derajat celcius. Untungnya, menjelang akhir 2021, timbul sejumlah perkembangan politik, diplomatik, dan ekonomi yang positif bagi dinamika perubahan iklim.
Sejumlah negara produsen emisi besar telah menetapkan target untuk menjadi “carbon neutral” antara tahun 2050-2060, antara lain China, Jepang, Korea, dan Afrika Selatan. Pada hari pertama Presiden Joe Biden berkuasa, AS kembali bergabung di Perjanjian Paris, yang langsung memberikan energi baru dalam diplomasi iklim. Lebih dari 1,000 perusahaan multinasional dunia juga telah menetapkan target penurunan emisi yang “science-based target initiative” (SBTI).
Lemahnya komitmen Momentum baik ini dapat dipastikan akan terus bergulir sepanjang tahun 2021. Namun, di tengah semua ini, Indonesia masih belum juga bergerak.
Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah perkembangan menandakan perubahan iklim tak lagi jadi prioritas pemerintah. Dewan Nasional Perubahan Iklim dibubarkan sehingga praktis tak ada lagi kebijakan tingkat nasional yang terpadu untuk perubahan iklim. Badan REDD + yang dibentuk setelahnya kini juga tak banyak berfungsi. Isu perubahan iklim turun pangkat menjadi urusan birokratis pada level dirjen dan direktur.
Tanpa dorongan politik, para birokrat ini tidak bisa melakukan gebrakan berarti.
Pada tahun 2015, Pemerintah Indonesia sempat mengumumkan kepada dunia internasional akan menaikkan target penurunan emisi dari 26 persen menjadi 29 persen dengan patokan tahun 2030. Namun, komitmen ini tak dilanjutkan dan akibatnya tak ada cetak biru, tidak ada rencana aksi dan implementasinya tak jelas. Sementara antarsejumlah kementerian terkait terjadi perbedaan pandangan dan perbenturan kepentingan sehingga komitmen 29 persen hanya menjadi target di atas kertas. Konon perbedaan pendapat ini juga ada di dalam tubuh Kementerian Lingkungan Hidup sendiri.
Target ini juga berlawanan dengan program pemerintah menambah kapasitas listrik 35,000 MW, yang sebagian besar mengandalkan batu-bara (yang merupakan “energi kotor” yang justru akan mengakibatkan peningkatan emisi karbon). Target meningkatkan porsi energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025 sampai kini juga masih macet di 9 persen. Mantan Menteri ESDM Ignasius Jonan mengaku pesimistis target bisa tercapai karena investasinya sangat minim.
Tidaklah mengherankan, Climate Action Tracker (CAT) menyatakan kebijakan perubahan iklim Indonesia “highly insufficient” (sangat tidak memadai). Selain itu, dalam diplomasi perubahan iklim, di pentas global Indonesia tak lagi kelihatan. Dalam Climate Ambition Summit untuk memperingati lima tahun dan mengkaji ulang Perjanjian Paris bulan Desember 2020 (dihadiri lebih dari 70 kepala negara), Indonesia diwakili Menlu Retno Marsudi, yang notabene tak punya kewenangan untuk sektor-sektor terkait perubahan iklim (lingkungan, industri, energi, dan lain-lain), apalagi untuk menentukan target emisi nasional.
Karena itu, pada awal 2021, Indonesia harus menjawab pertanyaan penting: mau menjadi peserta saja atau mau berperan sebagai penggerak/pelopor/pemimpin?
Kalau mau jadi peserta saja, tak usah repot-repot memang. Kita hanya perlu kirim wakil untuk hadir di sejumlah konferensi, isi daftar absen sewaktu sidang, angkat tangan kalau ada voting, dan memberikan statement basa-basi.
Namun, kalau mau jadi penggerak dalam perjuangan internasional akbar ini, urusannya jauh beda. Perubahan iklim harus naik pangkat menjadi agenda strategis Istana, bukan lagi kementerian, dan dipimpin langsung oleh Presiden. Pemerintah harus membentuk suatu mekanisme nasional perubahan iklim agar konsep dan target dalam diterapkan dalam bentuk kebijakan yang nyata. Opsi kebijakan yang bisa dirintis antara lain menerapkan carbon tax (Nilai Ekonomi Karbon), transfer fiskal berbasis ekologis (Ecological Fiscal Transfer), mengkaji ulang perizinan/konsesi berbasis lahan (kehutanan, perkebunan, tambang) yang berpengaruh langsung pada bencana banjir, longsor, kebakaran, dan lainnya.
Pemerintah juga harus mendorong komunitas pengusaha Indonesia, termasuk Kadin dan Hipmi, untuk menghijaukan cara berpikir mereka. “Hijau” di sini tak hanya urusan kehutanan dan plastik, tapi secara sistemik menghitung dan menurunkan emisi karbon dalam praktik bisnis. Dunia usaha Indonesia harus menerapkan paradigma baru (yang mulai melanda bisnis internasional) bahwa bisnis bersih emisi akan meningkatkan—bukan mengurangi—profit.
Investasi hijau Pemerintah juga perlu mendongkrak “investasi hijau”, yang menurut berbagai studi akan lebih banyak menciptakan lapangan kerja dibanding investasi konvensional. Program reforestasi dan penurunan deforestasi harus digenjot, demikian pula realisasi mobil listrik dan gedung nol emisi secara masal. Investasi di sektor energi baru terbarukan, yang selama ini sangat minim, harus ditingkatkan secara drastis.
Strategi Pembangunan Rendah Karbon yang dibuat Kementerian PPN/Bappenas tahun 2019 yang menyatakan ekonomi Indonesia bisa tumbuh 6 persen sekaligus menurunkan emisi 43 persen perlu diimplementasikan secara serius agar tidak menjadi konsep bagus di atas kertas. Pemerintah juga perlu mengupayakan agar strategi pemulihan dari krisis Covid-19 — dengan anggaran stimulus Rp 695,2 triliun pada 2020 dan Rp 403,9 triliun pada 2021— dapat diselaraskan dengan tujuan jangka panjang pembangunan berkelanjutan. Sebagai contoh, 30 persen anggaran pemulihan Uni Eropa dialokasikan untuk investasi hijau.
Yang paling penting, sesuai Perjanjian Paris, Pemerintah Indonesia harus segera menetapkan Nationally Determined Commitment (NDC) — istilah multilateral untuk target penurunan emisi — yang jauh lebih tinggi. Target 29 persen yang sekarang menjadi patokan pemerintah sudah tidak cukup lagi dan jauh di bawah standar ambisi dunia.
Kredibilitas Indonesia di sirkuit perundingan internasional tergantung dari kemampuan kita untuk menunjukan sikap progresif dan berani untuk menurunkan emisi dalam wilayah kita sendiri (sekarang Indonesia ranking ke-11 sebagai penghasil emisi karbon terbesar dunia). Ingat: tahun 2009, menjelang perundingan global COP-15 di Kopenhagen, Indonesia menjadi “game-changer” dalam diplomasi perubahan iklim dunia setelah mengumumkan target penurunan emisi 26 persen, yang diumumkan pada saat negara-negara berkembang lainnya belum ada satu pun yang bicara target angka.
Kini, tidak mungkin kita menjadi pemain yang disegani dalam diplomasi iklim sementara target nasional hanya 29 persen. Sebagai perbandingan, China, ekonomi terbesar dan sekaligus produsen emisi terbesar di dunia, telah menyatakan akan mencapai “net nol emisi” (net zero emission) pada tahun 2060. Sebaiknya Indonesia tak menunggu didesak-desak AS, Uni Eropa, Inggris, dan China, baru mulai bergerak mengumumkan target NDC yang lebih tinggi.
Pelajaran Covid-19 terpenting adalah jangan lengah membaca tanda-tanda zaman. Prediksi pandemi sudah ada sebelumnya, seruan untuk berhati-hati sudah ada, dan bahkan peringatan mengenai ancaman pandemi virus berbahaya sudah ada dalam buku putih Kementerian Pertahanan tahun 2015, tetapi tidak pernah dijelmakan dalam kebijakan persiapan dan tidak pernah dianggarkan.
Dalam masalah perubahan iklim kali ini, semua tanda juga sudah ada di depan mata. Tahun 2020 adalah tahun terpanas kedua sepanjang sejarah dunia (setelah 2016). Tujuh tahun terpanas dalam sejarah umat manusia terjadi berturut-turut sejak 2014. Greenland baru-baru ini kehilangan 580 miliar ton es, yang cair karena suhu memanas, yang kalau dihitung-hitung bisa menenggelamkan seluruh California dalam air setinggi satu meter. Di Indonesia sendiri, kita kini banyak menyaksikan intensitas bencana alam yang semakin tinggi.
Semua fenomena ini dipastikan akan semakin memburuk, mengancam sektor industri, pertanian, rantai pasokan, permukiman, infrastruktur, kesehatan publik, air minum, kesejahteraan maritim, dan menimbulkan konflik perubahan iklim (climate conflict and wars).
Kalau suhu bumi memanas naik empat derajat celcius, kita tidak bisa menurunkannya lagi (beda dari krisis ekonomi yang selalu bisa diperbaiki). Ini akan menjadi malapetaka permanen untuk seluruh generasi Indonesia ke depan. Dalam pertarungan besar perubahan iklim tahun ini, Indonesia hanya mau jadi peserta atau maju sebagai pelopor?