Oleh: Dino Patti Djalal
(Artikel ini diterbitkan oleh Rakyat Merdeka pada 17 Februari 2019)
RMco.id Rakyat Merdeka – Dari semua daerah pemilihan (dapil) Pemilu 2019, menurut saya yang paling menarik adalah Dapil DKI Jakarta 2. Mengapa? Karena di Dapil DKI 2 inilah sedang terjadi pertarungan sengit yang melibatkan konstituen yang sangat unik, yaitu: para pemilih diaspora.
Apa itu diaspora? Diaspora adalah semua warga Indonesia yang belajar, bekerja dan menetap di luar Indonesia. Mereka mencakup pengusaha, profesional, TKI, mahasiwa, ibu rumah tangga dan sebagainya. Jumlah diaspora yang berstatus WNI diperkirakan sekitar 6 juta orang. Kalau dianggap kota, diaspora adalah kota kedua terbesar setelah Jakarta.
Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah suara pemilih diaspora dalam pemilu 2019 adalah 2 juta lebih. Jumlah pemilih diaspora ini lebih besar dari pemilih di Provinsi Bangka Belitung (Babel), Bengkulu, Gorontalo, Kalimantan Tengah Kalimantan Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, Riau, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Nggak menyangka kan ?
Profil pemilih diaspora Indonesia juga sangat khas. Mereka umumnya kelas menengah, yang tingkat pendidikan dan penghasilannya lebih tinggi dibanding kalau bekerja di tanah air. Misalnya, TKI di luar negeri bisa berpenghasilan Rp 10 juta per bulan, mirip kelas menengah di tanah air. Mereka tidak mempan money politics (tidak bisa dibeli suaranya), dan memilih berdasarkan hati nurani sendiri (tidak mengikuti pilihan tokoh). Berbeda dari pemilih di tanah air, diaspora cenderung tidak “terkavling” oleh parpol-parpol, dan tidak terlibat dalam politik cakar-cakaran di Tanah Air.
Walau secara ekonomi kuat, secara politis diaspora Indonesia cenderung bermasalah: mereka masih merasa asing dengan DPR. Silakan tanya diaspora: siapa calon legislatif (caleg) Anda di DPR, jarang sekali yang bisa menjawab. Sewaktu mencoblos di bilik suara, mereka umumnya tahu siapa Calon Presiden pilihannya, namun akan kebingungan melihat pilihan para Calegnya yang begitu banyak (lebih dari 100) yang tidak diketahui siapa mereka dan apa janjinya. Akibatnya, mereka mencoblos caleg-nya secara asal-asalan. Dan setelah mencoblos pun, mereka lupa siapa yang dicoblos.
Kondisi ini menimbulkan demokrasi semu dan pemilu yang kurang representatif. Koneksitas antara pemilih dan yang dipilih sangat lemah. Banyak diaspora Indonesia yang merasa suara mereka hanya formalitas, bahkan tidak dianggap. Diaspora pernah menempuh upaya hukum agar mereka dapat mempunyai Dapil sendiri — terpisah dari Dapil DKI Jakarya. Namun, usulan ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusional (MK) tahun 2013.
Kekecewaan mereka semakin bertambah karena banyak isu diaspora yang terbengkalai. Sebagai contoh, walaupun dwi-kewarganegaraan menjadi sorotan utama di komunitas diaspora, hampir tidak ada satu pun anggota DPR yang mengusung isu ini. Sementara itu, sampai sekarang belum ada Lembaga atau Badan di Pemerintah, yang secara khusus menangani diaspora Indonesia (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia atau BNP2TKI, hanya menangani TKI).
Inilah sebabnya voting turn-out diaspora cenderung rendah. Dari seluruh pemilih diaspora, hanya 34 persen yang ikut mencoblos dalam Pemilu 2014. Kartu diaspora yang diterbitkan Pemerintah juga kurang mendapat sambutan. Sampai sekarang, hanya segelintir kecil kartu yang sudah dikeluarkan (kurang dari 1.000).
Caleg Diaspora
Dalam Dapil DKI 2, suara diaspora (2 juta) jauh lebih besar dari jumlah suara di Jakarta Pusat (600.000) dan Jakarta Selatan (1,6 juta). Dengan kata lain, diaspora Indonesia mencakup hampir 50 persen suara Dapil DKI 2. Ini berarti tidak mungkin seorang caleg memenangkan Dapil DKI 2 tanpa meraih suara diaspora. Praktek masa lalu di mana suara diaspora hanya dianggap “bonus sampingan” harus diakhiri. Itulah sebabnya kini ada upaya baru untuk memajukan konsep “Caleg Diaspora”. Intinya mencari siapa caleg yang paling peduli dengan aspirasi diaspora?
Melalui program Diaspora Know Your Caleg (KYC) yang diselenggarakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), semua parpol dan caleg diberikan peluang untuk memperkenalkan dirinya, sekaligus berjuang meyakinkan diaspora mengenai kompetensi dirinya. Mereka diharuskan menjawab sejumlah pertanyaan wajib dan pertanyaan pilihan. Pandangan para Caleg Dapil DKI 2 (video wawancara dan statement tertulis dan lainnya) akan dimasukkan dalam website www.calegdiasapora.org yang pada awal Maret depan, akan disebarluaskan ke komunitas diaspora Indonesia di seluruh dunia.
Dalam proses ini, para Caleg Dapil DKI 2 mau tidak mau harus akan memposisikan diri juga sebagai calegnya diaspora. Di sini, akan terlihat dari 105 kandidat, siapa caleg yang serius dan siapa caleg yang iseng. Akan terlihat pula siapa caleg yang peduli terhadap isu-isu diaspora (dwi kewarganeraan, perlindungan TKI, pembinaan generasi ke-2 diaspora, pelestarian budaya, kawin campur, pendidikan, akses imigrasi, pembangunan masjid, pemakaman di tanah air, kemudahan berbisnis dan filantropi, dan sebagainya) serta sanggup berkomitmen menjadi pendekar diaspora di DPR.
Platform www.calegdiaspora.org ini juga merupakan inovasi dalam berdemokrasi, karena membantu menghindari politik biaya tinggi. Dari semua Caleg Dapil DKI 2, saya yakin tidak ada satu pun yang punya waktu dan dana untuk mengunjungi seluruh kantong diaspora Indonesia di berbagai kota dan negara. Mereka tersebar di Asia, Timur Tengah, Eropa, Amerika, Afrika, Australia, dan banyak lagi.
Memang perlu dimengerti, medan diaspora Indonesia sendiri tidak mudah. Sangat beragam dan sulit dikontak. Banyak Caleg Dapil DKI 2 yang ingin menyapa diaspora, namun mereka tidak tahu kepada siapa dan bagaimana caranya. Dengan program ini, mudah-mudahan tercipta ruang bersama dimana semua caleg yang serius bisa mengakses diaspora, dan semua diaspora yang berminat bisa mengakses calegnya.
Kalau ini tercapai, Insya Allah, dalam Pemilu 2019, diaspora Indonesia — yang selama ini menjadi anak manis demokrasi Indonesia — tidak lagi gigit jari. Lebih penting, walaupun jarak geografis antara diaspora dan caleg tetap jauh, paling tidak jarak politiknya semakin mengecil. ***
Salam diaspora!
Penulis adalah mantan Wakil Menlu, Penggagas Kongres Diaspora Indonesia dan Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI).
—